Halaman

Bacaan niat puasa sunnah dzulhijjad teks arab dan artinya dan keutamaan puasa sunnah bulan dzulhijjah

. Bulan Dzulhijjah disebut juga dengan Bulan Haji dan Qurban karena pada bulan inilah ibadah dan ritual haji dilaksanakan. Pada bulan Dhulhijjah ini disunnahkan melakukan puasa sunnah terutama pada tanggal 8 yang disebut dengan hari Tarwiyah dan tanggal 9 atau hari Tasu'a. Selain kedua hari tersebut, disunnahkan juga berpuasa pada tanggal 1 sampai 7 Dzulhijjah. Baik puasa Syawal maupun puasa Dzulhijjah adalah puasa sunnah yang baik dilakukan tapi boleh juga ditinggalkan. Bagi seorang istri, melakukan puasa sunnah harus atas seijin suami. 


HUKUM DAN DALIL DASAR PUASA BULAN DZULHIJJAH 

- QS Al-Hajj 22:27 - 28
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ * لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ 
Artinya: Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan...

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir III/239 yang dimaksud dengan kata " أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ" adalah 10 hari bulan Dzulhijjah.

- QS Al-Fajr 35:1-2 وَالْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Artinya: Demi fajar, dan malam yang sepuluh, 

Menurut Tabari dalam Tafsir Tabari VII/514 dan Tafsir Ibnu Katsir IV/535 yang dimaksud "وَلَيَالٍ عَشْرٍ" adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah

- Hadits riwayat Abu Daud no. 2438

ما من أيامٍ العمل الصالح فيها أحبُّ إلى الله من هذه الأيامِ ( يعني أيامَ العشر ) . قالوا : يا رسول الله ، ولا الجهادُ في سبيل الله ؟ قال : ولا الجهادُ في سبيل الله إلا رجلٌ خرج بنفسه وماله فلم يرجعْ من ذلك بشيء
Maknanya: Tidak ada amal salih yang paling disukai Allah selain hari-hari ini (yakni 10 hari Zulhijjah). Mereka berkata: Wahai Rasulullah tidakkah (lebih disukai) jihad? Nabi bersabda: Tidak kecuali seorang lelaki yang keluar dengan diri dan hartanya lalu pulang tanpa membawa apapun. 

- Hadits riwayat Abu Daud, Baihaqi, Ahmad, al-Bayhaqi, Ibn ‘Asakir dan al-Tahawi

عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ ، وَخَمِيسَيْنِ
Artinya: Bahwa Rasulullah saw biasanya berpuasa 9 hari Zulhijah, hari ‘Ashuraa’, 3 hari setiap bulan iaitu Senin pertama dan 2 Kamis terawal.


WAKTU PUASA BULAN DZULHIJJAH 

Puasa sunnah pada bulan Dzulhijjah yaitu sejak tanggal 1 sampai tanggal 9 Dzulhijjah (Lihat dalil hadits di atas).


NIAT PUASA BULAN DZULHIJJAH 

Niat puasa sunnah Dzulhijjah, sebagaimana puasa sunnah lain, dapat dilakukan pada malam hari atau siang hari sebelum masuk waktu Dzuhur (tergelincirnya matahari).



APA ITU ILMU NAHWU DAN SHOROF

Nahwu dan sharaf adalah dua ilmu yang wajib dikuasai bagi mereka yang ingin memahami bahasa arab, dan bahasa arab adalah syarat mutlak bagi mereka yang ingin memahami agama Islam.  Pada awalnya bahasa arab ‘asli’ tidak mengenal adanya harakat (fathah, kasroh, dhommah)  maupun titik dan ini tentunya sangat menyulitkan, kalangan bangsa arab sendiri pada saat itu jarang yang bisa baca tulis, hanya saja ajaibnya, kebakuan susunan ketatabahasaan dan gramatika mereka tetap terjaga. Geliat kesusastraan yang melahirkan banyak syair-syair justru menjadi alat bukti (baca:dalil) atas kevalidan satu pola kebahasaan yang dibahas para nuhah  (pakar Nahwu) di kemudian hari. Kemudian dalam perkembangannya, bahasa arab diberi titik sehingga bisa dibedakan secara visual antara huruf  ب / ba (satu titik) dan huruf  ت ta (dua titik). Namun buat sebagian kalangan tetap saja itu masih sulit untuk ‘membunyikan’ huruf-huruf itu apakah dibaca ba, bi, atau bu. Disinilah kedua ilmu ini, yakni Nahwu dan Sharaf memiliki peranan.
Apa itu ilmu Nahwu …. ?
Secara literatur, ilmu nahwu didefinisikan sebagai
“ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenali kalimat-kalimat bahasa arab dari sisi i’rab dan bina’-nya”(Jamiud Duruus, Syaikh Musthafa). Namun simplenya adalah, dengan ilmu nahwu kita bisa mengenal bagaimana membunyikanbagian akhir dari satu kata dalam satu struktur kalimat. Contoh :
الحمد لله رب العالمين  
Al Hamdu lillahi rabbil ‘aalamiin
Mengapa huruf dal pada kata al-hamdu dibaca dengan dhommah (du), bukannya kasroh (di), atau fathah (da)..? Karena secara struktur kata al-hamdu berperan sebagai mubtada, yang mengawali satu kalimat, sehingga ia harus dibaca dhommah.
Mengapa huruf ha pada kata Allah dibaca hi, bukannya ha atau hu…? Karena lafazh Allah di atas didahului oleh huruf lam (bagi) yang menyebabkan ia harus dibaca kasrah, sehingga lafazh “li” + lafazh “Allah”  dibaca lillaahi
Maka dengan nahwu, kita bisa memahami bagaimana membunyikan bagian akhir dari satu kata. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita membaca huruf pada awal dan pertengahan satu kata…? contohnya adalah مساجد (ma-saa-ji-du) / masjid-masjid, dengan nahwu kita bisa tahu apakah dia dibaca masjidu atau masajida, namun bagaimana kita bisa mengetahui harakat untuk huruf mim-sin-dan jim…? Di sinilah ilmu sharaf berperan
Apa itu ilmu Sharaf….?
Secara literatur, ilmu sharaf adalah  
“ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenal pola-pola kalimat dan kondisi-kondisinya” (Jamiud Durus).
Intinya adalah tiap kata dalam bahasa arab memiliki pola, contohnya ,  مساجد/ma-sa-ji-da masih satu pola dengan مفاعل ma-faa-i-la, dengan melihat pola ini maka kita bisa mengetahui bahwa cara membaca مفاتح adalah ma-faa-ti-ha, dan cara membaca مكارم adalah ma-kaa-ri-ma, dst …. lihatlah kesamaan pola-polanya ma-saa-jid : ma-faa-il : ma-faa-tih : ma-kaa-rim, dengan memahami satu pola kita bisa tahu bagaimana cara membaca kata-kata lain yang terlihat memiliki kesamaan bentuk dan pola dengan wazn / pola defaultnya. Adapun untuk membaca bagian akhirnya apakah ma-saa-ji-du atau ma-saa-ji-da, kita kembalikan pada prinsip / kaidah-kaidah nahwu.   


Apa untungnya memahami pola…?
Dengan memahami pola kita bisa menentukan asal satu kata, dan ini akan memudahkan kita dalam pencarian arti di kamus. Contohnya kata al-miizan  الميزان  (timbangan/neraca) di mana kata al-miizaan tersusun dari huruf mim-ya-zaa-alif-nuun (al / alif lam tak usah dihitung) lantas di mana kita cari arti kata miizaan di kamus, apakah di huruf م (miim), ي (yaa), ز  (zaai) , ا (alif), atau ن (nuun)…?  Jawabnya adalah huruf و (wawu). Karena kata al-miizaan adalah polamashdar (istilah English : gerund) dari kata asalnya yaitu وزن wa-za-na (menimbang).
Di sisi lain, dengan mengetahui arti satu kata asal dan memahami polanya, akanterlahir kosakata-kosakata lain yang dengan mudahnya kita terjemahkan tanpa harus melihat kamus, bila kita paham makna wa-za-na adalah menimbang, kemudian kita tahu bahwa al-miizaan adalah bentuk mashdar atau gerund(kata kerja yang dibendakan) dari kata wazana, maka kita akan paham bahwa kata al-miizaan adalah timbangan / neraca tanpa harus melihat kamus, meskipun untuk lebih aman tetap saja idealnya kita melihat ke kamus ^_^…
Hal seperti inilah yang kita dapati dari ilmu sharaf.
Abi dan Umi
Di kalangan pesantren ada istilah bahwa Nahwu adalah abb (Bapak) dan sharaf adalah umm (ibu). Maksudnya adalah bahwa peranan seorang abi adalah membenarkan, meluruskan kesalahan, menghukumi,  mendidik, dan mengarahkan. Maka disinilah peranan nahwu untuk mengarahkan bagaimana seharusnya satu kata dibunyikan. sementara peranan umi adalah melahirkan anak, disinilah sharaf dianalogikan dengan umi karena dari ilmu sharaf-lah terlahir beragam kosakatayang sesuai polanya masing-masing.
Mari Membuang Mitos
Realitanya, di kalangan komunitas dan keluarga agamis-awam ada mitos menyedihkan soal ilmu nahwu-shorof, di mana keduanya dianggap sebagai  ‘ilmu orang-orang khusus dan pilihan’, ‘hati-hati belajar sharaf‘, ‘perlu hati yang bersih untuk pelajari itu‘, ‘kalau nggak kuat bisa gila‘,‘nggak boleh sembarangan baca buku nahwu-sharaf,’… Ucapan-ucapan semacam ini sempat saya dengar beberapa tahun lalu. Dan ternyata mitos ini mengglobal, karena di kemudian hari, saya memiliki seorang kenalan yang mengajar di satu lembaga bahasa arab di tanah abang yang juga mengeluhkan mitos yang samayangmenghalangi umat Islam mempelajari agamanya.
Ya Allah Ya Rabb… padahal ini hanyalah pelajaran gramatika. Buat saya istilah katagana, hiragana, tsa-tsi-tsu-tse-to jauh lebih njelimet daripada balajar fa’ala – yaf’alu-fa’lan, tapi sampai hari ini belum ada orang yang berkata ‘hati-hati belajar bahasa jepang kalau nggak kuat bisa gila’
Mari Belajar Bahasa Arab…
Syaikhul Islam menegaskan bahwa menggunakan bahasa asing (non-arab) adalah bentuk tasyabbuh kepada kaum kuffar. Walaupun di kemudian hari para ulama membolehkan mempelajari bahasa asing dalam kadar adanya kemaslahatan bagi pribadi dan kaum muslimin dan masyarakat secara umum. Tapi intinya adalah seperti yang pernah saya dengar dari lisan Al Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, seorang ustadz, penulis kitab Ar Rasail, Syarah Aqidah Ahlussunnah, Doa & Wirid, serta buku-buku lainnya, beliau berkata : “Kalau belajar bahasa Jepang saja Antum bisa, bahasa Inggris saja Antum bisa… mengapa untuk bahasa arab tidak bisa…?”. 
Waalahul musta’aan
Sumber : https://muhammadadibshahab.wordpress.com/2016/11/09/apa-itu-ilmu-nahwu-dan-shorof/comment-page-1/#comment-1

SEJARAH LAKHIRNYA ILMU NAHWU DAN SHOROF


SEJARAH LAHIRNYA ILMU NAHWU




Bangsa arab merupakan bangsa yang memilki nilai sastra yang tinggi. Di zaman Arab kuno setiap tahunnya diadakan pasar seni dimana mereka berkumbul dan membanggakan syair-syair yang ada diantara mereka. Salah satu pasar seni yang terkenal adalah ‘Ukadz yang diadakan pada bulan Syawal.
Awalnya bahasa Arab amat terjaga sampai islam menyebar luas ke negeri-negeri ‘ajam (bukan Arab). Dari sinilah mulai timbul kesalahan dalam melafadzkan bahasa arab. Penyebab utamanya adalah adanya percampuran antara bahasa arab dengan 'ajam. Kekeliruan ini sangat berbahaya karena boleh merusak makna ayat Al Quran. Sehingga Akhirnya kaidah-kaidah bahasa arab disusun dan diberi nama nahwu.
Para ulama hampir bersepakat bahwa penyusun ilmu nahwu pertama adalah Abul Aswad Ad Dualy (67 H) dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali Rhadiyallahu ‘anhu. 
١التحفة السنية بشرح المقدمة الأجرومية – شيخ محمد محي الدين عبد الحميد – ص : ٦
واضعه – والمشهور أن أول واضع لعلم النحو هو أبو أسود الدوليُّ ، بأمر أمير المؤمنين عليّ بن أبي طالب رضي الله تعالى عنهما !. 
٢- الكواكب الدرية على متمّة الأجروميّة- الشيخ محمد بن أحمد بن عبد الباري الأهدَل ص:٢٥ – دار الكتب العلمية.
وسبب تسمية هذا العلم بالنحو ما روي أن عليًا رضي الله عنه لما أشار على أبي الأسود الدولي أن يضعه قال له بعد أن علمه الاسم والفعل والحرف : الاسم ما أنبأ عن المسمى ، والفعل ما أنبأ عن حركة المسمى ، والحرف ما أنبأ عن معنى في غيره والرفع للفاعل وما اشتبه به والنصب للمفعول وما حمل عليه والجر للمضاف وما يناسبه انح هذا النحو يا أبا الأسود فسمي بذلك تبركاً بلفظ الواضع له

Sejarah munculnya Ilmu Nahwu ini pada ketika zaman Abul Aswad Ad-Dauli datang kerumah puterinya di tanah Basroh, (pada masa sekarang sebuah negeri di negara Iraq). Pada saat itu puterinya mengatakan يَا أَبَتِ مَا اَشَدُّ الْحَرِّ, dengan membaca Rofa’ pada lafadz اَشَدُّ dan membaca jar pada lafazh الْحَرّ , yang menurut bahasa yang benar مَا nya dilakukan sebagai Istifham yang artinya: “Wahai Ayahku ! Kenapa sangat panas?
Dengan spontan Abul Aswad menjawap شَهْرُنَا هَذَا (Wahai Puteriku, bulannya memamg musim panas). 
Mendengar jawapan Ayahnya, puterinya langsung berkata : “Wahai Ayah, saya tidak bertanya kepadamu tentang panasnya bulan ini, tetapi saya memberi khabar kepadamu atas kekagumanku pada panasnya bulan ini (yang semestinya jika dikehendaki Ta’ajub diucapkan مَا اَشَدَّ الْحَرَّ , dengan membaca fathah pada اَشَدَّ dan membaca Nashob الْحَرَّ ). 
Sejak kejadian itu, Abul Aswad lalu datang kepada sahabat,Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali, Seraya berkata “ Wahai Amirul Mukminin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”, sambil menceritakan kejadian antara dia dan puterinya, maka buatlah saya sebuah ilmu, kemudian Amirul Mu’minin Khalifah ‘Alimembacakan:
اَلْكَلاَمُ كُلُّهُ لاَيَخْرُجُ عَنِ اسْمٍ وَفِعْلٍ وَحَرْفٍ الخ عَلَى هَذَا النَّحْوِ
Kalam itu tidak boleh lepas dari kalimat Isim, Fi’il, dan Huruf, dan teruskanlah untuk sesamanya ini”.
Kemudian Abul Aswad Ad-Dauli mengarang bab Istifham dan Ta’jjub, dan Di kisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan : 
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”

Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rosak dan menyesatkan. Seharusnya kalimat tersebut adalah,
إِنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Kerana mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rosak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam. Lalu beliau mengarang bab Athof dan Na’at, yang pada setiap karangan selalu dihaturnya pada Amirul Mu’minin Khalifah ‘Ali sehingga sampai mencukupi ilmu Nahwu yang mencukupi. Dengan melihat cerita tersebut maka pengarang ilmu Nahwu pada haqiqotnya adalah Khalifah Saidina ‘Ali, yanag melaksanaakannya adalah Abul Aswad Ad-Dauli. Pada pekembnagan selanjutnya, banyak orang yang menimba ilmu dari Abul Aswad, diantaranya Maimun Al-Aqron, kemudian generasinya Abu Amr bin Ala’, kemudian generasinya Imam al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama), kemudian generasinya Imam Sibaweh dan Imam Al-Kisa’I (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Sumber : http://jejaknahwushorof.blogspot.com/2011/07/sejarah-lahirnya-ilmu-nahwu.html

Biografi Syeh Salim bin Sumair Al-Hadhromi, pengarang kitab Safinatun Naja


Nama dan Kelahiran

Al-Allamah Asy-Syaikh Salim bin Abdulloh bin Sa’ad bin Abdulloh bin Sumair Al-Hadhromi Asy-Syafi’I, dikenal sebagai seorang ulama’ ahli fiqih (al-faqih), pengajar (al-mu’allim), hakim agama (al-qodhi), ahli politik (as-siyasi) dan juga ahli dalam urusan kemiliteran (al-khobir bisy-syu’unil ‘askariyah). Beliau dilahirkan didesa “Dzi Ashbuh” salah satu desa dikawasan Hadhromaut, Yaman.


Perkembangan dan pendidikan

Syekh Salim me¬mulai pendidikannya dalam bidang agama dengan belajar Al-Qur'an di bawah peng¬awasan ayahandanya yang juga merupakan ulama besar, yaitu Syekh Al-Allamah Abdullah bin Sa'ad bin Sumair, hingga beliau mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Lalu beliau ikut mengajarkan Al-qur’an sehingga beliau mendapat gelar “Al-Mu’allim”. Al Mu’allim adalah sebutan yang biasa diberikan oleh orang – orang Hadhromaut kepada seorang pengajar Al-Qur’an. Mungkin saja sebutan tersebut diilhami dari Hadits Nabi;

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik baik orang diantara kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”(Shohih Bukhori, no.5027)

Beliau juga belajar ilmu – ilmu agama lainnya pada ayahnya dan pada ulama’ – ulama’ hadhromaut yang jumlahnya sangat banyak pada masa itu, yaitu pada abad ke – 13 Hijriyah.


Berdakwah dan Mengajar

Setelah belajar kepada beberapa ulama’ dan telah menguasai berbagai ilmu agama beliau mengabdikan dirinya untuk mengajarkan ilmunya, mulailah berdatangan para pernuntut ilmu untuk menimba ilmu pada beliau, diantara murid beliau yang masyhur adalah Al-Habib Abdulloh bin Thoha Al-hadar Al-Haddad dan Syekh Al-Faqih Ali bin Umar Baghuzah. Semenjak itu nama beliau menjadi masyhur dan dipuji dimana mana, setingkat dengan guru beliau, Asy-Syaikh Al-Allamah Abdulloh bin Ahmad Basudan.


Keahlian dibidang politik dan kemiliteran

Selain penguasaan yang mendalam akan ilmu – ilmu agama, Syekh Salim juga dikenal sebagai seorang ulama’ yang ahli dalam urusan politik dan tim ahli dalam masalah perlengkapan peperangan. Dikisahkan, pada suatu ketika Syekh Salim diminta agar membeli per¬alatan perang tercanggih pada saat itu, maka beliau berangkat ke Singapura dan mengirimnya ke Hadhromaut. Beliau juga merupakan salah seorang yang berjasa dalam mendamaikan Yafi’ dan Kerajaan Katsiriyah.

Kemudian beliau diangkat men¬jadi penasehat khusus Sultan Abdullah bin Muhsin. Sultan tersebut pada awalnya sangat patuh dan tunduk dengan segala saran, arahan dan nasehat beliau. Namun lama kelamaan sang sultan  tidak lagi mau menuruti saran dan nasehat beliau dan bahkan meremehkan saran – saran beliau. Akhirnya beliau memutuskan untuk  hijrah menuju India, lalu beliau hijrah ke negara pulau jawa.


Kehidupan di Batavia

Setelah menetap di Batavia (Kini menjadi Jakarta) sebagai seorang ulama terpandang yang segala tindakan¬nya menjadi perhatian para pengikutnya, maka perpindahan Syekh Salim ke pulau Jawa tersebar secara luas dengan cepat, mereka datang berduyun-duyun kepada Syekh Salim untuk menimba ilmu atau meminta do'a darinya. Melihat hal itu maka Syekh Salim mendirikan berbagai majlis ilmu dan majlis dakwah, hampir dalam setiap hari beliau menghadiri majlis¬majlis tersebut, sehingga akhirnya semakin menguatkan posisi beliau di Batavia, pada masa itu. Syekh Salim bin Sumair dikenal sangat tegas di dalam mempertahankan kebenaran, apa pun resiko yang harus diha-dapinya. Beliau juga tidak menyukai jika para ulama mende¬kat, bergaul, apalagi menjadi budak para pejabat. Seringkali beliau memberi nasihat dan kritikan tajam kepada para ulama dan para kiai yang gemar mondar-mandir kepada para pejabat pemerintah Belanda.

Martin van Bruinessen dalam tulisan¬nya tentang kitab kuning (tidak semua tulisannya kita sepakati) juga sempat memberikan komentar yang menarik terhadap tokoh kita ini. Dalam beberapa alenia dia menceritakan per¬bedaan pandangan dan pendirian yang terjadi antara dua orang ulama besar, yaitu Sayyid Usman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair yang telah menjadi perdebatan di kalangan umum. Pada saat itu, tampaknya Syekh Salim kurang setuju dengan pendirian Sayyid Usman bin Yahya yang loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Sayyid Usman bin Yah_ya sendiri pada waktu itu, sebagai Mufti Batavia yang diangkat dan disetujui oleh kolonial Belanda, sedang berusaha menjern¬batani jurang pemisah antara `Alawiyyin (Habaib) dengan pemerintah Belanda, sehingga beliau merasa perlu untuk mengambil hati para pejabatnya.

Oleh karena itu, beliau mem¬berikan fatwa-fatwa hukum yang seakan-akan mendukung program dan rencana mereka. Hal itulah yang kemudian menyebabkan Syekh Salim terlibat dalam polemik panjang dengan Sayyid Usman yang beliau anggap tidak konsisten di dalam mempertahankan kebenaran. Entah bagaimana penye¬lesaian yang terjadi pada waktu itu, yang jelas cerita tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kepada kita tentang sikap dan pendirian Syekh Salim bin Sumair yang sangat anti de¬ngan pemerintahan yang dholim, apalagi para penjajah dari kaum kuffar.


Pengamalan ibadah

Walaupun Syekh Salim seorang yang sangat sibuk dalam berbagai kegiatan dan jabatan, namun beliau adalah seorang yang sangat banyak berdzikir kepada Allah SWT dan juga dikenal sebagai orang yang ahli membaca Al Qur'an. Syekh Ahmad Al-Hadhromi Al-Makiy menceritakan bahwa Syekh Salim mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an ketika melakukan thowaf di Baitulloh.


Karya – karya tulis 

Beliau telah meninggalkan beberapa karya ilmiah di antaranya Kitab "Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah" (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tu¬hannya), yang banyak diajarkan di madrasah diniyah dan pondok pesantren di Indonesia. Selain itu beliau juga menulis kitab Al-Fawaid AI-Jaliyyah Fiz-Zajri ‘An Ta’athil Hiyal Ar-Ribawiyah (faedah –faedah yang jelas mengenai pencegahan melakukan hilah – hilah ribawi), satu kitab yang ditulis untuk  mengecam rekayasa (hilah) untuk memuluskan praktek riba.


Berpulang ke Rahmatulloh

Syaikh Salim meninggal di Batavia pada tahun 1271 Hijriyah.

.......................................................................................................................................................
Referensi :
1.  Ghoyatul Muna Syarah Safinatun Naja, hal : 10 – 11
2.  Terjemahan Kitab Safinatun Najah, Fiqh Ibadah Praktis Dan Mudah Terjemahan Dan Penjelasan. Penulis : KH. Ust, Yahya Wahid Dahlan

Sumber : http://www.fikihkontemporer.com/2013/04/biografi-syeh-salim-bin-sumair-al.html

Copyright @ 2013 zeinblogger.